NPK yang antara lain terdiri dari Urea, TSP dan KCL serta pestisida kimia pengendali hama sudah merupakan kebutuhan rutin para petani kita, dan sudah dilakukan sejak 1967 (masa awal orde baru) hingga sekarang.
Produk hasil pertanian mencapai puncaknya pada tahun 1984 pada saat Indonesia mencapai swasembada beras dan kondisi ini stabil sampai dengan tahun 1990-an. Capaian produksi padi saat itu bisa 6 -- 8 ton/hektar.
Petani kita selanjutnya secara turun temurun beranggapan bahwa yang meningkatkan produksi pertanian mereka adalah Urea, TSP dan KCL, mereka lupa bahwa tanah kita juga butuh unsur hara mikro yang pada umumnya terdapat dalam pupuk kandang atau pupuk hijau yang ada disekitar kita, sementara yang ditambahkan pada setiap awal musim tanam adalah unsur hara makro NPK saja ditambah dengan pengendali hama kimia yang sangat merusak lingkungan dan terutama tanah pertanian mereka semakin rusak, semakin keras dan menjadi tidak subur lagi. Sawah-sawah kita sejak 1990 hingga sekarang telah mengalami penurunan produksi yang sangat luar biasa dan hasil akhir yang tercatat rata-rata nasional hanya tinggal 3, 8 ton/hektar (statistik nasional 2010).
Tawaran solusi terbaik untuk para petani Indonesia agar mereka bisa tersenyum ketika panen, maka tidak ada jalan lain, perbaiki sistem pertanian mereka, ubah cara bertani mereka, mari kita kembali kealam.
System of Rice Intensification (SRI) yang telah dicanangkan oleh pemerintah (SBY) beberapa tahun yang lalu adalah cara bertani yang ramah lingkungan, kembali kealam, menghasilkan produk yang terbebas dari unsur-unsur kimia berbahaya, kuantitas dan kualitas, serta harga produk juga jauh lebih baik.
Tetapi SRI sampai kini masih belum juga mendapat respon positif secara luas dari para petani kita, karena pada umumnya petani kita beranggapan dan beralasan bahwa walaupun hasilnya sangat menjanjikan, tetapi sangat merepotkan petani dalam proses budidayanya. Selain itu petani kita sudah terbiasa dan terlanjur termanjakan oleh system olah lahan yang praktis dan serba instan dengan menggunakan pupuk dan pestisida kimia, sehingga umumnya sangat berat menerima metoda SRI ini.
Mungkin tunggu 5 tahun lagi setelah melihat petani tetangganya berhasil menerapkan metode tersebut.
Tawaran solusi yang lebih praktis yang perlu dipertimbangkan dan sangat mungkin untuk dapat diterima dan diterapkan oleh masyarakat petani kita untuk dicoba, yaitu:
""BERTANI DENGAN SISTEM GABUNGAN SRI DIPADUKAN DENGAN PENGGUNAAN EFFECTIVE MICROORGANISME 16 PLUS (EM16+), PUPUK ORGANIK AJAIB (SO/AVRON/POC), AGEN HAYATI PENGENDALI HAMA TANAH GLIO DAN AGEN HAYATI PENGENDALI HAMA TANAMAN BVR, DENGAN POLA TANAM JAJAR GOROWO"
POLA TANAM JAJAR GOROWO
Kata “gorowo” diambil dari bahasa Jawa yaitu “lego”, “jero” dan “dowo”. Lego artinya luas/lebar, jero artinya dalam dan dowo artinya panjang. Teknologi jajar gorowo merupakan rekayasa teknik tanam dengan mengatur jarak tanam antar rumpun dan antar barisan sehingga terjadi pemadatan rumpun padi dalam barisan dan melebar jarak antar barisan dan diselang dengan parit/selokan sehingga seolah-olah rumpun padi berada dibarisan pinggir dari pertanaman yang akan memperoleh manfaat sebagai tanaman pinggir. Cara tanam padi pola tanam jajar gorowo merupakan rekayasa teknologi yang ditujukan untuk memperbaiki produktivitas usaha tani padi. Teknologi ini merupakan perubahan dari teknologi jarak tanam tegel menjadi tanam jajar legowo dan disempurnakan menjadi tanam jajar gorowo.
Media tanam dalam bentuk bedengan tidak digenangi air, tetapi tinggi air pada parit/selokan sama atau sedikit lebih rendah dari permukaan tanah bedengan. Bibit ditanam pada usia muda (6 – 10 hss) dan satu bibit untuk satu titik tanam.
Selamat mencoba dan terimakasih,
omyosa@gmail.com; 02137878827
Tidak ada komentar:
Posting Komentar